BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Keyakinan dapat diartikan sebagai suatu kepastian atau prasangka
yang kuat terhadap sesuatu hal yang dikerjakan, dan keraguan hanya semata-mata
kebimbangan tentang apakah prasangkanya sama kuat atau ada yang lebih kuat.
Dalam kehidupan sehari-hari ada saja
peristiwa yang dialami oleh umat mengenai keragan dalam menjalankan suatu
perkara. Misalnya kita ragu akan jumlah rakaat saat sedang melaksanakan sholat.
Karena hal itu sering dirasakan oleh banyak umat maka perlu kami untuk membahas
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa keyakinan dan keraguan dari
setiap perbuatan yang dilakukan.
Menurut kami, yang sesuai dengan
peristiwa tersebut ialah kaidah yang berkenaan dengan keyakinan dan keraguan
yaitu “al Yaqinu la yuzalu bi syakk”. Kaidah ini sangat penting untuk
dipelajari, karena menurut Imam As-Suyuthi, kaidah ini mencakup semua
pembahasan dalam masalah fiqih dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya
mencapai 3/4 dari subyek pembahasan fiqih.
Kaidah ini menghantarkan kepada kita
kepada konsep kemudahan demi menghilangkan yang kadang kala menimpa kita,
dengan cara menetapkan sebuah kepastian hukum dengan menolak keraguan. Sebab
telah kita ketahui bersama, keraguan adalah beban dan kesulitan, maka kita
diperintahkan untuk mengetahui hukum secara benar dan pasti sehingga terasa
mudah dan ringan dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya,
termasuk di dalamnya adalah aqidah dan ibadah.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
kaidah fiqih tentang keyakinan dan keraguan ?
2.
Apa
dasar dari kaidah fiqih tentang keyakinan dan keraguan ?
3.
Apa
saja kaidah-kaidah cabang tentang keyakinan dan keraguan ?
C.
Tujan
1.
Untuk
mengetahui kaidah fiqih tentang keyakinan dan keraguan.
2.
Untuk
mengetahui dasar kaidah fiqih tentang keyakinan dan keraguan.
3.
Untuk
mengetahui kaidah-kaidah cabang tentang keyakinan dan keraguan.
D.
Manfaat
1.
Dapat
memahami kaidah fiqih tentang keyakinan dan keraguan.
2.
Dapat
memahami dasar-dasar kaidah fiqih tentang keyakinan dan keraguan.
3.
Dapat
memahami kaidah-kaidah cabang tentang keyakinan dan keraguan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kaidah
Fiqih tentang Keyakinan dan Keraguan
Keyakinan dan keraguan merupakan dua hal yang berbeda, bahkan bisa
dikatakan saling berlawanan. Hanya saja, besarnya keyakinan dan keraguan akan
bervariasi tergantung lemah-kuatnya tarikan yang satu dangan yang lain. Kaidah
yang berkaitan dengan hal ini ialah:[1]
اَلْيَقِيْنُ لاَيُزَالُباِلشَّكِّ
“Keyakinan tidak dapat dihapus dengan keraguan.”
Kaidah ini, kalau diteliti secara seksama erat kaitannya dengan
masalah aqidah dan persoalan-persoalan dalil hukum dalam syari’at islam. Namun
demikian, suatu yang diyakini keberadaannya tidak bisa hilang, kecuali
berdasarkan dalil argumen yang pasti (qath’i), bukan semata-mata oleh
argumen yang bernilai saksi/tidak qath’i.[2]
B.
DASAR-DASAR
KAIDAH
Kaidah tentang keyakinan dan keraguan ini dibangun berdasarkan
kepada Al-Qur’an, Hadits, dan akal. Antara lain sebagai berikut:
1.
Firman
Allah SWT dalam Q.S. Yunus: 36:
وَمَا
يَتَّبِعُ أَكۡثَرُهُمۡ إِلَّا ظَنًّاۚ إِنَّ ٱلظَّنَّ لَا يُغۡنِي مِنَ ٱلۡحَقِّ
شَيًۡٔاۚ
Artinya:
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja.
Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.”
(Q.S. Yunus:36)
2.
Firman
Allah dalam Q.S Hujurat: 12:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ
إِثۡمٞۖ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman jauhilah kebanyakan dari persangkaan,
sesungguhnya kebanyakan dari persangkaan itu adalah dosa.”
3.
Hadits
riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah:
إِذَاوَجَدَأَحَدُكُمْ
فِى بَطْنِهِ شَيْاً فَاَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخْرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا فَلَا
يَخْرُجْ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْيَجِدُ رِيْحًا.
Artinya: “Apabila
perut seseorang terasa mulas, kemudian dia ragu, apakah dia kentut atau tidak,
janganlah keluar dari masjid sebelum mendengar atau merasakan (kentut).”
Hadits di atas menunjukkan adanya keraguan bagi yang sedang sahalat
atau menunggu (duduk di masjid) untuk melaksanakan shalat berjamaah. Secara logika, orang tersebut dalam keadaan
suci (sudah berwudhu). Dan orang tersebut ragu-ragu apakah ia telah
mengeluarkan angin atau tidak, maka ia harus dianggap masih dalam keadaan suci.
Karena keadaan inilah yang sudah meyakinkan tentang kesuciannya sejak semula,
sedang keraguanya baru timbul kemudian. Oleh karena itu, orang tersebut tidak
perlu berwudhu lagi sebelum mendapatkan bukti berupa bunyi atau baunya.
4.
Hadits
riwayat Imam Bukhari dari ‘Abad Ibn Tamim dari pamannya ia berkata:
شَكَى
إِلَى رَسُولُ اللّه صلى الّله عليه وسلم الرّجُلُ يَجِيْلُ اَنّهُ يَجِدُ
الشَّىءَ فىِ الصّلاَةِ قَلَ لَا يَنْصَرِفُ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتاً اَوْ رِيْحٌا.
Artinya: “seseorang yang ragu
dalam shalatnya mengadu kepada Rasulullah SAW. Kemudian Rasul bersabda: “
Janganlah kamu membatalkan shalatmu sebelum mendengar suara atau merasakan
keluarnya angin.”
5.
Hadits riwayat Imam Muslim:
إِذَاشَكَّ
أَحَدُكُمْ فِىْ صَلاَتِه صَلاَتِه فَلَمْ يَدْريِ كَمْ صَلَّى:
أَثَلاَثًا أَمْ أَرْبَعَةً فَلْيَطْرَحِ
الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلىَ مَااسْتَيْقَن
Artinya: “Apabila salah seorang kamu meragukan shalatnya, lalu
ia tidak mengetahui berapa raka’at yang telah dikerjakan, tiga atau empat, maka
hendaklah dilempar yag meragukan itu dan dibinalah menurut apa yang diyakinkan.”
(HR. Muslim)
Hadits tersebut memberi isyarat bahwa dua buah hitungan yang
diragukan mana yang benar, agar ditetapkan hitungan yang terkecillah yang
memberikan keyakinan. Sebab dalam menghitung sebelum sampai ke hitungan yang
besar pastilah melalui hitungan yang lebih kecil terlebih dahulu, karena yang
kecil (sedikit) itulah yang sudah meyakinkan.
6.
Menurut
Logika (akal)
“Keyakinan adalah lebih kuat dari pada keraguan, sebab di dalam
keyakinan terdapat hukum qath’i (keputusan yang pasti) yang meyakinkan yang
tidak hilang oleh keraguan.. Atas dasar petimbangan itulah bisa dikatakan bahwa
keyakinan tidak boleh dirusak oleh keraguan.”
C.
Kaidah-Kaidah
Cabang
Para ulama berbeda pendapat dalam mengemukakan kaidah cabang dari
kaidah ini. Menurut As-Suyuthi kaidah cabang tersebut ada tujuh yaitu:
Kaidah Pertama:[3]
اَلْأَصْلُ
مَاكاَنَ بَقَآءُ عَلى مَاكَانَ
Artinya: “sesuatu
itu tetap sebagai adanya.”
Penjelasan: Sesuatu yang hukumnya ditetapkan pada masa lalu –
dibolehkan atau dilarang – tetap pada ketetapan tersebut dan tidak berubah
sebelum ada dalil yang merubahnya.
Contohnya:
1.
Orang
yang yakin telah bersuci dan ragu tentag hadas yang menimpanya, maka dia masih
dalam keadaan suci.
2.
Orang
yang yakin bahwa ia berhadas, dan ragu tentang keabsahan bersuci yang telah ia
lakukan, maka ia masih berhadas.
3.
Seseorang
yang makan sahur di akhir malam dengan dicekam rasa ragu-ragu, jangan-janga
waktu fajar sudah tiba. Maka puasa orang tadi tetap sah, sebab menurut dasar
yang asli diberlakukan keadaan waktunya masih malam, dan bukan waktu fajar.
Kaidah Kedua:[4]
اَلْأَصْلُ
بَرَاءَةُالذِّمَةِ
Artinya: “Asal
itu bebas dari tanggungan.”
Contohnya:
1.
Jika
ada dua orang bertengkar tentang harga barang yang dirusakkan, maka dimenangkan
oleh orang yang merasa dirugikan. Sebab menurut asalnya ia tidak dibebani
tanggungan tambahan.
2.
Terdakwa
yang menolak angkat sumpah tidak dapat diterapkan hukuman. Karena menurut
asalnya ia bebas dari tanggungan dan yang harus angkat sumpah ialah si
pendakwa.
Kaidah Ketiga:[5]
اَلْأَصْلُ
الْعَدَمَ
Artinya: “Asal
itu tidak ada.”
Contohnya:
1.
Seseorang
mengaku telah berhutang kepada orang lain berdasarkan atas pengakuannya sendiri
atau suatu bukti yang otentik. Tiba-tiba orang yang berhutang mengaku telah
membayarnya hingga ia merasa bebas dari pembayaran. Sedang orang yang
menghutangkan mengingkari atas pengakuan tersebut.
Dalam perselisihan ini sesuai dengan kaidah yang telah lalu
dimenangkan oleh pengingkaran orang yang menghutangi. Sebab menurut asalnya
belum adanya pembayaran hutang dan ini merupakan hal yang sudah meyakinkan,
sedaang pengakuan telah membayar merupakan hal yang masih diragukan.
2.
Seorang
pemakan harta milik orang lain bertengkar dengan pemilik. Pemakan harta
mengatakan bahwa orang yang memiliki sudah mengizinkannya. Sedang pemiliknya
tidak merasa telah memberikan izin bahkan mengingkarinya.
Penyelesaian pertengkaran ini sudah
barang tentu harus dimenangkan oleh pemilik harta, karena menurut asalnya
memakan harta milik orang lain itu tidak dibenarkan.
Kaidah Keempat:[6]
اَلْأَصْلُ
فِى كُلِّ حَدِيْثٍ تُقَدِّرُهُ بِأَقْرَبِ الزَّمَانِ
Artinya:
“Asal dalam setiap kejadian, dilihat dari waktunya yang terdekat.”
Contohnya:
Seseorang mengambil air wudhu untuk shalat dari suatu sumur.
Beberapa hari kemudian diketahuinya bahwa di dalam sumur tersebut terdapat
bangkai tikus, sehingga menimbulkan keragu-raguannya perihal wudhu dan shalat
yang telah dikerjakan beberapa hari yag lalu. Dalam masalah yang demikian itu
ia tidak wajib mengqadha shalat yang sudah dikerjakannya.
Masa yang terdekat sejak dari peristiwa diketahuinya bangkai tikus
itulah yang dijadikan titik tolak untuk menetapkan kenajisan air yang
mengakibatkan tidak sahnya shalat dan keharusan mengqadhanya. Kecuali kalau ia
yakin bahwa bangkai itu sudah lama berada di dalam sumur sebelum ia melakukan
shalat atas adanya bukti-bukti yang meyakinkan. Jika demikian air yang
dipergunakan wudhu itu adalah air mutanajis, hingga shalat yang telah ia
kerjakan harus ia qadha.
Kaidah Kelima:[7]
اَلْأَصْلُ
فِى الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةِ
Artinya:
“Asal dari sesuatu itu adalah kebolehan.”
Kaidah ini bersumber dari sabda Rasulullah yang artinya sebagai
berikut:
“Apa-apa yang dihalalkan Allah adalah halal dan apa-apa yang
diharamkan Allah adalah haram, dan apa-apa yang didiamkan dimaafkan. Maka
terimalah dari Allah pemaafan-Nya. Sungguh Allah tidak melupakan sesuatu pun.”
(HR. Al-Bazar dan at-Thabrani).
Kandungan hadits ini ini ialah bahwa segala sesuatu yang belum
ditunjuk oleh dalil yang tegas tentang halal dan haramnya, maka hendaklah
dikembalikan kepada ketentuan aslinya, yaitu mubah.
Contohnya:
Segala macam binatang yang sukar untuk ditentukan keharamannya
lantaran tidak didapatkan sifat-sifatnya ciri-ciri yang dapat diklasifikasikan
kepada haram, maka halal dimakan. Seperti binatang Jerapah merupakan binatang
yang halal dimakan, karena tidak memiliki sifat-sifat atau ciri-ciri yang
mengharamkannya (bertaring lagi buas).
Kaidah Keenam:[8]
اَلْأَصْلُ
فِى الْإِبَاحَةِ التّحْرِيْمُ
Artinya: “ Asal dari dalam kemubahan
adalah keharaman.”
Kaidah Ketujuh:[9]
اَلْأَصْلُ
فِى الْكَلَامِ اَلْحَقِيْقَةُ
Artinya: “ Asal dari ucapan adalah
hakikat ucapan tersebut.”
D.
Contoh
Aplikasi
Diantara contoh dari kaidah ini ialah:
1.
Apabila
seseorang sedang melaksanakan shalat Dhuhur, kemudian dia ragu apakah sudah
empat rakaat atau baru tiga rakaat maka ambillah yang lebih yakin, yaitu tiga
rakaat. Namun, sebelum salam disunnahkan sujud sahwi dua kali.
2.
Seorang
musafir yang ingin shalat jamak qashar bermakmum kepada orang yang tidak ia
ketahui, apakah ia sedang shalat jamak qashar atau tidak. Maka shalat jamak
qasharnya tidak memenuhi syarat.
[1] Jaih Mubark, “Kiadah
Fiqih”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 128.
[2] Rachmat
Syafe’i, “Ilmu Ushul Fiqih”, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 280.
[3] Rachmat
Syafe’i, Ibid., 282.
[4] Rachmat
Syafe’i, Ibid., 282.
[5] Rachmat
Syafe’i, Ibid., 283.
[6] Ibid.,
[7] Ibid.,
[8] Ibid.,
[9] Ibid.,
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Keyakinan
dan keraguan merupakan dua hal yang berbeda, bahkan bisa dikatakan saling
berlawanan. Hanya saja, besarnya keyakinan dan keraguan akan bervariasi
tergantung lemah-kuatnya tarikan yang satu dangan yang lain.
Dalil
‘aqli (akal) bagi kaidah keyakinan dan keraguan adalah bahwa keyakinan lebih
kuat dari pada keraguan, karena dalam keyakinan terdapat hukum qath’i yang
meyakinkan. Atas dasar petimbangan itulah bisa dikatakan bahwa keyakinan tidak
boleh dirusak oleh keraguan.
B.
Saran
Sebagai
hamba Allah yang beriman dan bertaqwa, marilah kita bersama-sama mematuhi
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dengan menjalankan syariat-Nya. Dan
marilah kita hindari hal-hal yang meragukan, sebab hal yang meragukan hanya
akan menjadi penghalang bagi kita untuk menjalankan syariatnya. Dan tetaplah
konsisten dengan pendirian yang meyakinkan hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar