Minggu, 09 Oktober 2016

Makalah Kaidah Fikih tentang Keyakinan dan Keraguan



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Keyakinan dapat diartikan sebagai suatu kepastian atau prasangka yang kuat terhadap sesuatu hal yang dikerjakan, dan keraguan hanya semata-mata kebimbangan tentang apakah prasangkanya sama kuat atau ada yang lebih kuat.
Dalam kehidupan sehari-hari ada saja peristiwa yang dialami oleh umat mengenai keragan dalam menjalankan suatu perkara. Misalnya kita ragu akan jumlah rakaat saat sedang melaksanakan sholat. Karena hal itu sering dirasakan oleh banyak umat maka perlu kami untuk membahas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa keyakinan dan keraguan dari setiap perbuatan yang dilakukan.
Menurut kami, yang sesuai dengan peristiwa tersebut ialah kaidah yang berkenaan dengan keyakinan dan keraguan yaitu “al Yaqinu la yuzalu bi syakk”. Kaidah ini sangat penting untuk dipelajari, karena menurut Imam As-Suyuthi, kaidah ini mencakup semua pembahasan dalam masalah fiqih dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya mencapai 3/4 dari subyek pembahasan fiqih.
Kaidah ini menghantarkan kepada kita kepada konsep kemudahan demi menghilangkan yang kadang kala menimpa kita, dengan cara menetapkan sebuah kepastian hukum dengan menolak keraguan. Sebab telah kita ketahui bersama, keraguan adalah beban dan kesulitan, maka kita diperintahkan untuk mengetahui hukum secara benar dan pasti sehingga terasa mudah dan ringan dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, termasuk di dalamnya adalah aqidah dan ibadah.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kaidah fiqih tentang keyakinan dan keraguan ?
2.      Apa dasar dari kaidah fiqih tentang keyakinan dan keraguan ?
3.      Apa saja kaidah-kaidah cabang tentang keyakinan dan keraguan ?
C.    Tujan
1.      Untuk mengetahui kaidah fiqih tentang keyakinan dan keraguan.
2.      Untuk mengetahui dasar kaidah fiqih tentang keyakinan dan keraguan.
3.      Untuk mengetahui kaidah-kaidah cabang tentang keyakinan dan keraguan.
D.    Manfaat
1.      Dapat memahami kaidah fiqih tentang keyakinan dan keraguan.
2.      Dapat memahami dasar-dasar kaidah fiqih tentang keyakinan dan keraguan.
3.      Dapat memahami kaidah-kaidah cabang tentang keyakinan dan keraguan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Kaidah Fiqih tentang Keyakinan dan Keraguan
Keyakinan dan keraguan merupakan dua hal yang berbeda, bahkan bisa dikatakan saling berlawanan. Hanya saja, besarnya keyakinan dan keraguan akan bervariasi tergantung lemah-kuatnya tarikan yang satu dangan yang lain. Kaidah yang berkaitan dengan hal ini ialah:[1]
اَلْيَقِيْنُ لاَيُزَالُباِلشَّكِّ 
“Keyakinan tidak dapat dihapus dengan keraguan.”
Kaidah ini, kalau diteliti secara seksama erat kaitannya dengan masalah aqidah dan persoalan-persoalan dalil hukum dalam syari’at islam. Namun demikian, suatu yang diyakini keberadaannya tidak bisa hilang, kecuali berdasarkan dalil argumen yang pasti (qath’i), bukan semata-mata oleh argumen yang bernilai saksi/tidak qath’i.[2]
B.     DASAR-DASAR KAIDAH
Kaidah tentang keyakinan dan keraguan ini dibangun berdasarkan kepada Al-Qur’an, Hadits, dan akal. Antara lain sebagai berikut:
1.      Firman Allah SWT dalam Q.S. Yunus: 36:
وَمَا يَتَّبِعُ أَكۡثَرُهُمۡ إِلَّا ظَنًّاۚ إِنَّ ٱلظَّنَّ لَا يُغۡنِي مِنَ ٱلۡحَقِّ شَيۡ‍ًٔاۚ
Artinya: “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.” (Q.S. Yunus:36)
2.      Firman Allah dalam Q.S Hujurat: 12:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٞۖ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman jauhilah kebanyakan dari persangkaan, sesungguhnya kebanyakan dari persangkaan itu adalah dosa.”
3.      Hadits riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah:
إِذَاوَجَدَأَحَدُكُمْ فِى بَطْنِهِ شَيْاً فَاَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخْرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا فَلَا يَخْرُجْ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْيَجِدُ رِيْحًا.
Artinya: “Apabila perut seseorang terasa mulas, kemudian dia ragu, apakah dia kentut atau tidak, janganlah keluar dari masjid sebelum mendengar atau merasakan (kentut).”
Hadits di atas menunjukkan adanya keraguan bagi yang sedang sahalat atau menunggu (duduk di masjid) untuk melaksanakan shalat berjamaah.  Secara logika, orang tersebut dalam keadaan suci (sudah berwudhu). Dan orang tersebut ragu-ragu apakah ia telah mengeluarkan angin atau tidak, maka ia harus dianggap masih dalam keadaan suci. Karena keadaan inilah yang sudah meyakinkan tentang kesuciannya sejak semula, sedang keraguanya baru timbul kemudian. Oleh karena itu, orang tersebut tidak perlu berwudhu lagi sebelum mendapatkan bukti berupa bunyi atau baunya.
4.      Hadits riwayat Imam Bukhari dari ‘Abad Ibn Tamim dari pamannya ia berkata:
شَكَى إِلَى رَسُولُ اللّه صلى الّله عليه وسلم الرّجُلُ يَجِيْلُ اَنّهُ يَجِدُ الشَّىءَ فىِ الصّلاَةِ قَلَ لَا يَنْصَرِفُ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتاً اَوْ رِيْحٌا.
Artinya: “seseorang yang ragu dalam shalatnya mengadu kepada Rasulullah SAW. Kemudian Rasul bersabda: “ Janganlah kamu membatalkan shalatmu sebelum mendengar suara atau merasakan keluarnya angin.



5.       Hadits riwayat Imam Muslim:
إِذَاشَكَّ أَحَدُكُمْ فِىْ صَلاَتِه صَلاَتِه فَلَمْ يَدْريِ كَمْ صَلَّى: أَثَلاَثًا أَمْ أَرْبَعَةً فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلىَ مَااسْتَيْقَن
Artinya: “Apabila salah seorang kamu meragukan shalatnya, lalu ia tidak mengetahui berapa raka’at yang telah dikerjakan, tiga atau empat, maka hendaklah dilempar yag meragukan itu dan dibinalah menurut apa yang diyakinkan.” (HR. Muslim)
Hadits tersebut memberi isyarat bahwa dua buah hitungan yang diragukan mana yang benar, agar ditetapkan hitungan yang terkecillah yang memberikan keyakinan. Sebab dalam menghitung sebelum sampai ke hitungan yang besar pastilah melalui hitungan yang lebih kecil terlebih dahulu, karena yang kecil (sedikit) itulah yang sudah meyakinkan.
6.      Menurut Logika (akal)
“Keyakinan adalah lebih kuat dari pada keraguan, sebab di dalam keyakinan terdapat hukum qath’i (keputusan yang pasti) yang meyakinkan yang tidak hilang oleh keraguan.. Atas dasar petimbangan itulah bisa dikatakan bahwa keyakinan tidak boleh dirusak oleh keraguan.”
C.    Kaidah-Kaidah Cabang
Para ulama berbeda pendapat dalam mengemukakan kaidah cabang dari kaidah ini. Menurut As-Suyuthi kaidah cabang tersebut ada tujuh yaitu:
Kaidah Pertama:[3]
اَلْأَصْلُ مَاكاَنَ بَقَآءُ عَلى مَاكَانَ
Artinya: “sesuatu itu tetap sebagai adanya.”
Penjelasan: Sesuatu yang hukumnya ditetapkan pada masa lalu – dibolehkan atau dilarang – tetap pada ketetapan tersebut dan tidak berubah sebelum ada dalil yang merubahnya.
Contohnya:
1.      Orang yang yakin telah bersuci dan ragu tentag hadas yang menimpanya, maka dia masih dalam keadaan suci.
2.      Orang yang yakin bahwa ia berhadas, dan ragu tentang keabsahan bersuci yang telah ia lakukan, maka ia masih berhadas.
3.      Seseorang yang makan sahur di akhir malam dengan dicekam rasa ragu-ragu, jangan-janga waktu fajar sudah tiba. Maka puasa orang tadi tetap sah, sebab menurut dasar yang asli diberlakukan keadaan waktunya masih malam, dan bukan waktu fajar.
Kaidah Kedua:[4]
اَلْأَصْلُ بَرَاءَةُالذِّمَةِ
Artinya: “Asal itu bebas dari tanggungan.”
Contohnya:
1.      Jika ada dua orang bertengkar tentang harga barang yang dirusakkan, maka dimenangkan oleh orang yang merasa dirugikan. Sebab menurut asalnya ia tidak dibebani tanggungan tambahan.
2.      Terdakwa yang menolak angkat sumpah tidak dapat diterapkan hukuman. Karena menurut asalnya ia bebas dari tanggungan dan yang harus angkat sumpah ialah si pendakwa.
Kaidah Ketiga:[5]
اَلْأَصْلُ الْعَدَمَ
Artinya: “Asal itu tidak ada.”
Contohnya:
1.      Seseorang mengaku telah berhutang kepada orang lain berdasarkan atas pengakuannya sendiri atau suatu bukti yang otentik. Tiba-tiba orang yang berhutang mengaku telah membayarnya hingga ia merasa bebas dari pembayaran. Sedang orang yang menghutangkan mengingkari atas pengakuan tersebut.
Dalam perselisihan ini sesuai dengan kaidah yang telah lalu dimenangkan oleh pengingkaran orang yang menghutangi. Sebab menurut asalnya belum adanya pembayaran hutang dan ini merupakan hal yang sudah meyakinkan, sedaang pengakuan telah membayar merupakan hal yang masih diragukan.
2.      Seorang pemakan harta milik orang lain bertengkar dengan pemilik. Pemakan harta mengatakan bahwa orang yang memiliki sudah mengizinkannya. Sedang pemiliknya tidak merasa telah memberikan izin bahkan mengingkarinya.
Penyelesaian pertengkaran ini sudah barang tentu harus dimenangkan oleh pemilik harta, karena menurut asalnya memakan harta milik orang lain itu tidak dibenarkan.

      Kaidah Keempat:[6]
اَلْأَصْلُ فِى كُلِّ حَدِيْثٍ تُقَدِّرُهُ بِأَقْرَبِ الزَّمَانِ
    Artinya: “Asal dalam setiap kejadian, dilihat dari waktunya yang terdekat.”
     Contohnya:
Seseorang mengambil air wudhu untuk shalat dari suatu sumur. Beberapa hari kemudian diketahuinya bahwa di dalam sumur tersebut terdapat bangkai tikus, sehingga menimbulkan keragu-raguannya perihal wudhu dan shalat yang telah dikerjakan beberapa hari yag lalu. Dalam masalah yang demikian itu ia tidak wajib mengqadha shalat yang sudah dikerjakannya.
Masa yang terdekat sejak dari peristiwa diketahuinya bangkai tikus itulah yang dijadikan titik tolak untuk menetapkan kenajisan air yang mengakibatkan tidak sahnya shalat dan keharusan mengqadhanya. Kecuali kalau ia yakin bahwa bangkai itu sudah lama berada di dalam sumur sebelum ia melakukan shalat atas adanya bukti-bukti yang meyakinkan. Jika demikian air yang dipergunakan wudhu itu adalah air mutanajis, hingga shalat yang telah ia kerjakan harus ia qadha.
Kaidah Kelima:[7]
اَلْأَصْلُ فِى الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةِ
    Artinya: “Asal dari sesuatu itu adalah kebolehan.”
Kaidah ini bersumber dari sabda Rasulullah yang artinya sebagai berikut:
Apa-apa yang dihalalkan Allah adalah halal dan apa-apa yang diharamkan Allah adalah haram, dan apa-apa yang didiamkan dimaafkan. Maka terimalah dari Allah pemaafan-Nya. Sungguh Allah tidak melupakan sesuatu pun.” (HR. Al-Bazar dan at-Thabrani).
Kandungan hadits ini ini ialah bahwa segala sesuatu yang belum ditunjuk oleh dalil yang tegas tentang halal dan haramnya, maka hendaklah dikembalikan kepada ketentuan aslinya, yaitu mubah.
Contohnya:
Segala macam binatang yang sukar untuk ditentukan keharamannya lantaran tidak didapatkan sifat-sifatnya ciri-ciri yang dapat diklasifikasikan kepada haram, maka halal dimakan. Seperti binatang Jerapah merupakan binatang yang halal dimakan, karena tidak memiliki sifat-sifat atau ciri-ciri yang mengharamkannya (bertaring lagi buas).
     Kaidah  Keenam:[8]
اَلْأَصْلُ فِى الْإِبَاحَةِ التّحْرِيْمُ
      Artinya: “ Asal dari dalam kemubahan adalah keharaman.”
      Kaidah Ketujuh:[9]
اَلْأَصْلُ فِى الْكَلَامِ اَلْحَقِيْقَةُ
      Artinya: “ Asal dari ucapan adalah hakikat ucapan tersebut.”
D.    Contoh Aplikasi
Diantara contoh dari kaidah ini ialah:
1.      Apabila seseorang sedang melaksanakan shalat Dhuhur, kemudian dia ragu apakah sudah empat rakaat atau baru tiga rakaat maka ambillah yang lebih yakin, yaitu tiga rakaat. Namun, sebelum salam disunnahkan sujud sahwi dua kali.
2.      Seorang musafir yang ingin shalat jamak qashar bermakmum kepada orang yang tidak ia ketahui, apakah ia sedang shalat jamak qashar atau tidak. Maka shalat jamak qasharnya tidak memenuhi syarat.



[1] Jaih Mubark, “Kiadah Fiqih”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 128.
[2] Rachmat Syafe’i, “Ilmu Ushul Fiqih”, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 280.
[3] Rachmat Syafe’i, Ibid., 282.
[4] Rachmat Syafe’i, Ibid., 282.
[5] Rachmat Syafe’i, Ibid., 283.
[6] Ibid.,
[7] Ibid.,
[8] Ibid.,
[9] Ibid.,

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Keyakinan dan keraguan merupakan dua hal yang berbeda, bahkan bisa dikatakan saling berlawanan. Hanya saja, besarnya keyakinan dan keraguan akan bervariasi tergantung lemah-kuatnya tarikan yang satu dangan yang lain.
Dalil ‘aqli (akal) bagi kaidah keyakinan dan keraguan adalah bahwa keyakinan lebih kuat dari pada keraguan, karena dalam keyakinan terdapat hukum qath’i yang meyakinkan. Atas dasar petimbangan itulah bisa dikatakan bahwa keyakinan tidak boleh dirusak oleh keraguan.
B.     Saran
Sebagai hamba Allah yang beriman dan bertaqwa, marilah kita bersama-sama mematuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dengan menjalankan syariat-Nya. Dan marilah kita hindari hal-hal yang meragukan, sebab hal yang meragukan hanya akan menjadi penghalang bagi kita untuk menjalankan syariatnya. Dan tetaplah konsisten dengan pendirian yang meyakinkan hati.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar